Kontak Info Lain dan Alamat:

Kunjungi Blog kami: http://skbdenpasar.blogspot.com
Facebook:
skbkotadps@yahoo.co.id
Vidio:
Youtube SKB Kota Denpasar
Email: skbkotadps@yahoo.co.id dan skb.denpasar@gmail.com
Telp: (0361) 461892
Alamat: Jl. Trengguli I Tembau-Penatih Denpasar Timur - Bali

Rabu, 10 Oktober 2012

PENGELOLA YANG “NAKAL” DAPAT MERUSAK CITRA PENDIDIKAN KESETARAAN

Oleh : A. A. Ngurah Sumantri
Membaca berita koran “Denpost” terbitan hari Selasa tanggal 9 Oktober 2012 tentang ketatnya persyaratan untuk mengikuti Ujuan Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) Paket C saya pribadi sangat setuju. Bukankah pada saat ini Kelompok Belajar Paket A, Paket B, dan Paket C sudah diakui keberadaannya oleh masyarakat dan semakin diperhatikan Pemerintah? Bahkan semakin dimati oleh masyaraat? Masyarakat yang tidak terlayani pada Pendidikan Formal sudah menjadikan Pendidikan Non Formal cq Pendidikan Kesetaraan sebagai pilihannya? Bahkan mereka sudah tidak merasa malu dan gengsi lagi belajar di Kejar Paket A, Paket B, dan Paket C. Tentu semua ini berkat perjuangan yang tidak mengenal lelah dari pada para insan yang berkecimpung di Pendidikan Non Formal dan In Formal. Keberadaannya juga semakin mantap dengan adanya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003. Jebolan Pendidikan Kesetaraan ini dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi baik Non Formal bahkan Formal. Misalnya Paket A melanjutkan ke Paket B bahkan juga SMP baik Negeri maupun Swasta. Paket B selain ke Paket C juga ke SMA Negeri atau Swasta. Demikian halnya Paket C dapat melanjutkan ke perguruan tinggi Negeri maupun swasta. Bahkan demi pencitraan istilah “Kejar ” pun diganti menjadi Pendidikan Kesetaraan. Misalnya Pendidikan Kesetaraan Paket A, Kesetaraan Paket B, dan Kesetaraan Paket C. Kondisi Pendidikan Kesetaraan seperti yang saya sebutkan diatas tersebut selayaknya kita para insan PNF ini syukuri. Untuk itu sudah sepatutnya kita jaga, kita pelihara, bahkan kita tingkatkan kualitasnya sehingga masyarakat semakin percaya dengan Pendidikan Kesetaraan ini. Dengan demikian maka citra Pendidikan Kesetaraan ini semakin baik dimata msyarakat Indonesia. Pada masa kini pencitraan ini juga merupakan faktor yang tidak dapat diabakian untuk meraih simpati publik. Akan tetapi dalam kenyataan dan prakteknya ternyata masih ada beberapa institusi PNF yang “nakal” dan ceroboh dalam mengelola manajemen pendidikannya. Masih ada segelintir oknum pengelola Pendidikan Kesetaraan ini yang lebih memprioritaskan uang dari pada kualitas produk pendidikannya. “Ada Uang Semuanya Beres!” . Atau istilah jadulnya, “Semua Bisa Diatur!” begitu kira-kira kalau di bahasakan. Apa yang saya sampaikan dan tulis ini bukan berdasarkan dugaan dan prasangka yang buruk, tapi beberapa pengalaman yang kebetulan saya alami mengindikasikan adanya praktek-praktek “nakal” dari beberapa oknum pengelola Pendidikan Kesetaraan ini. Pada tahun 2009 saya pernah diikutsertakan sebagai petugas pengawas UNPK periode I. Selain saya dari UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar juga beberapa teman Pamong Belajar yang notabene adalah juga Tutor Pendidikan Kesetaraan ikut menjaga dan bertugas mengawasi UNPK ini. Dalam setiap ruang dijaga oleh dua orang penjaga atau pengawas ujian. Dan kami dari UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar tugasnya diacak artinya dalam satu ruangan tidak dengan teman sekerja, tetapi dengan Tutor lain dari PKBM. Waktu itu saya bertugas dengan seorang Tutor yang bertugas di salah satu PKBM di Kota Denpasar. Saya tidak perlu sebutkan nama beliau dan PKBM tempat beliau mengajar. Kebetulan beliau adalah seorang Tutor yang mengajar mata pelajaran Geografi. Saya katakan kebetulan karena saya juga Tutor Geografi di Paket C kelas X UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar. Sehingga dalam berkomunikasi kami sangat nyambung. Setelah diawali dengan perkenalan dan basa-basi, seiring dengan berjalannya waktu sampailan kami pada pembicaraan tentang mata pelajaran yang kami ajari. Sampai dalam pembicaraan tentang mata pelajaran yang kami ajarakan ini lancar-lancar saja. Barulah saya menjadi kaget ketika pembicaraan kami memasuki ranah proses belajar mengajarnya. Yang membuat saya kaget tiada lain karena di PKBM tempat beliau mengajar ternyata Paket C Kelas X, XI, dan XII digabung dalam satu ruangan. “Lho kok bisa? Lalu bagimana cara Ibu mengajar mereka?” tanya saya tidak habis pikir. Apa ada satu sistem atau metode mengajar model mutakhir sehingga dapat mengajar dalam satu kelas untuk tingkatan kelas yang berbeda? Bisik saya dalam hati. Ibu Tutor tersebut hanya senyum-senyum saja. “Yah saya tidak bisa berbuat apa-apa karena semua ini keputusan yang diambil oleh pengelola kami” katanya dengan senyuman yang menunjukkan ketidak berdayaan. “ia sih Bu tapi dalam hal ini kan pengelola tidak boleh intervensi terlalu jauh dalan hal proses belajar mengajar ” kata saya. “Ah sudalah Bu, kalau ini keputusan pengelolanya, ia yang kelak bertanggung jwab kalau terjadi apa-apa” kata saya menghibur beliau. “Alasannya ya karena tahun ini sangat sedikit memperoleh peserta didik disetiap kelasnya” kata beliau. O begitu, tapi kan itu bukan alasan yang menjadi pembenar untuk melaksanakan “model” pembelajaran yang “nyeleneh” ini. Masih di UNPK 2009 ini, pada kesempatan berikutnya, saya pun kembali menjumpai keanehan lain. Kali ini dari seorang peserta didik yang ikut serta dalam UNPK ini. Saya pun tidak akan menyebutkan namanya, lagian saya sudah lupa karena kejadiannya sudah beberapa tahun yang silam. Saat jam istirahat setelah beberapa mata pelajaran yang diujikan selesai, saya sempat berbincang-bincang dengan salah seorang peserta perempuan dari sebuah PKBM. Menurut pengakuannya, ia berasal dari sebuah daerah di ujung paling timur dari Propinsi Jawa Timur. Ia merantau ke Bali dan bekerja disebuah Artshop di daerah celuk Gianyar. Menurut penuturannya, ia hanya tamatan SMP di Kotanya. Setelah bercerita panjang lebar, sampailah ceritanya tentang keikutsertaannya menempuh UNPK ini. Ketika saya bertanya tentang bagaimana proses belajar mengajar di PKBM tempat ia belajar, peserta didik ini malah “clingak-clinguk” seperti orang bego. “Belajar?” tanyanya heran. “Ya. Seperti pelajar SMA kan belajar di kelas” kata saya. Ia geleng-geleng sambil mengerutkan keningnya. “Lho adik ini kan tadi bilang cuman tamatan SMP di tempat asalnya di Jawa Timur sana. Lalu ngelamar ikut belajar di PKBM.... ini. Pastilah masuk dan belajarnya dari kelas X paket C dong” jelas saya agar ia mengerti. Ia mengerutkan kening dan menunjukkan ketidakmengertian maksud saya. Pelan-pelan saya jelaskan lagi. Jawaban yang saya terima kemudian mebuat saya terkejut dan heran. “Saya ga pernah belajar kok Pak. Saya datang ke tempat belajar ini (maksudnya PKBM) dan ditanya mau ikut ujian tahun ini? Kalau mau ikut ujian kamu harus membayar......” katanya sambil menyebutkan suatu jumlah uang yang membikin saya kaget setengah mati karena nilainya jutaan rupiah ! “Lho kok mahal buanget?” Pancing saya semakin penasaran. “Ya Pak. Katanya karena surat-surat saya ga lengkap. Saya ga punya raport kelas satu (maksudnya kelas X) paket C, juga raport kelas dua dan kelas tiga. Gurunya (maksudnya pengelola) bilang akan dibuatin raportnya. Juga kelengakapan lain seperti absen setiap belajar, ulangan dan lain-lainnya” katanya polos. “Kan ditawar-tawar biar lebih murah dong” pancing saya lagi untuk mendapatkan informasi lebih banyak. “Wah sudah Pak! Ada paket yang murahan, ya saya disuruh belajar dari kelas satu sampai kelas tiga. Waduh saya ga ada waktu Pak. Lagian kan saya perlu ijasah segera” katanya. O begitu rupanya. Wah ini oknum pengelola menggunakan “Jurus Kepepet” . ia dapat membaca situasi calon peserta didiknya. Semakin kepepet dan semakin butuh cepat untuk tamat dan mendapatkan ijasah semakin tinggi bayarannya, ck ck ck! Tentu saya yakin ada juga “paket-paket” yang lainnya lagi sesuai dengan kebutuhan peserta calon didiknya. Saya di UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar bukannya tidak pernah didatangi oleh calon peserta didik yang “mau enaknya sendiri” model beginian. Bahkan hampir tiap tahun ajaran baru selalu saja ada beberapa calon peserta didik yang ingin menggunakan jalan pintas seperti ini. Hanya saja karena kami adalah lembaga pemerintah yang wajib memeberikan contoh maka hal seperti itu kami tidak layani. “Pak! Saya tamatan SMP. Saya pengen cepat tamat SMA (Maksudnya Paket C), bisa ga disini?” tanyanya. Tentu saja saya jelaskan panjang lebar tentang proses KBM di UPT SKB Dinas Dikpora Kota ini panjang lebar disertai dengan memetik beberpa peraturan pemerintah. Ia Cuma melongo dan akhirnya permisi. “Maaf dik di tempat kami hal seperti itu tidak bisa dilakukan. Kalau adik tamat SMP ya disini adik mestinya belajar di Kelas X Paket C” kata saya menjelaskan. “Tapi teman saya baru beberapa bulan aja ikut Paket C sudah ikut ujian dan ga sampai setahun sudah tamat Paket C. Itu terjadinya tahun lalu” katanya ngotot. “O begitu? Saya kurang tahu dik, mungkin di tempat lain ada yang seperti itu. Tapi disini ga seperti itu” kata saya dan ia pun pergi. Setahun sebelumnya di tahun 2008, saya malah ketemu dengan mantan peserta didik saya yang mendrop-outkan diri pada kelas X Paket C semester kedua karena teriming-imingkan oleh suatu lembaga pendidikan kesetaraan. Menurut informasi yang ia dengar, katanya di PKBM........tidak usah belajar selama tiga tahun seperti yang diterapkan di UPT SKB Dinas Dikpora Kota Denpasar ini. Ia pun pindah ke PKBM yang disebutkan itu. Dan.... saya bertemu dengannya saat saya menjadi petugas dan pengawan UNPK Periode Pertama tahun 2008 itu. “Halo Pak Agung, saya bisa lho ikut ujian sekarang” katanya sambil melambaikan tangannya lalu masuk kelas untuk mengikuti UNPK. Nampaknya ia bangga sekali dengan”kesuksesannya” ikut UNPK cara cepat dan pintas ini. Saya pun melongo heran. Saya yakin tampang saya saat itu mirip kerbau dungu. Dalam hati saya berbisik, edan kok bisa ya? Itu mantan anak didik saya yang beberapa bulan yang lalu mundur dan minta pindah belajar dari SKB Kota Denpasar. Pernah juga beberapa tahun yang lalu sekitar 15 orang peserta didik saya di kelas X Paket C ingin “bedol desa” pindah rame-rame ke sebuah PKBM. Konon PKBM tersebut dapat menjanjikan sekelompok peserta didik bersangkutan untuk segera mengikuti UNPK tanpa harus mengikuti proses KBM yang lama dan bertahun-tahun. Sebagai Tenaga Pendidik yang bertanggung jawab saya berusaha memberikan wejangan, nasihat dan penjelasan panjang lebar. Dan entah mereka percaya dengan saya atau bagaimana tapi yang jelas mereka tidak lagi tergoda oleh iming-iming PKBM tersebut. Yang jelas mereka tidak jadi pindah dan tetap belajar hingga sampai tamat belajar dan sukses mengikuti UNPK dengan jalan yang wajar. Demikianlah sekelumit pengalaman saya dalam berkecimpung di Pendidikan Non Formal cq Pendidikan Kesetaraan. Itu adalah kondisi beberapa tahun yang silam. Namun saat ini jika masih ada oknum pengelola Pendidikan Kesetaraan yang masih “nakal” dan sangat longgar dalam melaksanakan manajemennya, sungguh sangat disayangkan. Ini berarti oknum bersangkutan tidak bisa bersyukur atas predikat yang disandang oleh jalur pendndikan Paket ini yakni predikat PENDIDIKAN KESETARAAN. Bahkan oknum yang bersangkutan boleh dibilang sebagai PENGHIANAT PENDIDIKAN KESETARAAN. Jika orang-orang seperti ini masih ada didalam ranah Pendidikan Kesetaraan ini, lambat laun akan menjadi duri dalam daging atau setitik noda yang meracuni susu sebelanga. Mereka ini yang akan merusak dan menterpurukkan Pendidikan Kesetaraan hingga jurang yang paling hina. Sehingga masyarakat dan dunia Pendidikan di Indonesia tidak percaya lagi dengan kualitas pendidikan kesetaraan ini. Kalau sudah demikian bukan hanya insan PNF yang dirugikan tapi juga masyarakat yang masih perlu layanan Pendidikan Non Formal ini. Selain itu hal ini termasuk tindakan dan proses pembodohan terhadap masyarakat dan pembohongan terhadap publik. Citra Pendidikan Kesetaraan ini kini sudah sangat baik, janganlah dirusak dengan cara-cara memakai jalan pintas dan pembodohan masyarakat sasaran didik dengan cara-cara yang seperti telah diuraikan diatas itu. Hanya demi keuntungan dan mengutamakan uang lantas mengorbankan citra pendidikan kesetaraan yang cukup lama membangun kepercayaan sehingga menjadi seperti sekarang ini. Semua orang memang perlu uang, namun kalau demi uang kemudian menghalalkan segala cara sungguh suatu tindakan yang tidak patut dan tercela. Semoga itu hanya sebagai sisi buruk masa laludari perjalanan serta proses pendididkan kesetaraan yang kita cintai ini. Dan pada masa kini sudah tidak ada lagi tindakan-tindakan seperti itu. Jika tidak, maka perlu kita koreksi lagi, apa pantas kita menyandang predikat terhormat ‘PENDIDIKAN KESETARAAN” ? Predikat ini adalah amanah dan berkah, untuk itu selayaknya kita jaga dengan baik bahkan wajib kita tingkatkan kualitasnya. Salah satu diantaranya adalah dengan semakin memperketat persyaratan dalam mengikuti UNPK.

1 komentar:

  1. mahal nya biaya pendidikan membuat kita jarang untuk menanyakan apakah sudah sesuaikan dengan apa yang kita keluarkan?

    BalasHapus